Trendingpublik.com, JAKARTA – Perubahan-perubahan terhadap UU Pemilu yang dilakukan DPR sebelumnya, isu soal ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas calon presiden (presidential threshold), menjadi bahasan pokok.
Berapa batas persentase masih menjadi tarik ulur antara fraksi-fraksi. Ada yang ingin tetap 7 persen seperti di aturan yang ada, sebagian fraksi ingin diturunkan menjadi 4 persen. Demikian juga untuk pencalonan presiden. Sejumlah parpol menengah ingin angkanya diturunkan menjadi 15 persen dari sebelumnya 20 persen, agar jumlah pasangan capres-cawapres yang diajukan bisa lebih banyak.
Meski begitu, kedua isu itu belum mendapat perhatian serius dibandingkan upaya menormalisasi pilkada 2022 dan 2023. Partai Demokrat salah satu yang paling keras menyuarakan normalisasi pilkada.
“Demokrat meminta agar Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan, tidak digabung dengan Pileg dan Pilpres 2024,” ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, dikutip dari Antara, Sabtu (16/1).
Ada tiga pertimbangan. Pertama, menurut Herzaky, Pilkada serentak di 2024 akan menciptakan beban teknis pemilihan berlebih bagi penyelenggara pemilu. Saat pileg dan pilpres 2019, telah jatuh korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas sakit.
Beban kerja di Pemilu Serentak 2019 yang cukup besar menjadi salah satu faktor banyak petugas yang sakit atau meninggal dunia. Karena itu, Partai Demokrat tidak ingin kejadian itu terulang.
“Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya bulan April, sedangkan Pilkada pada November 2024 seperti tercantum di Pasal 201 Ayat 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat,” kata Herzaky.
Lebih lanjut, ia menilai pertarungan Pilkada yang diserentakkan dengan Pilpres dan Pileg bisa jadi bukan lagi politik gagasan. Kompleksitasnya akan memunculkan tindakan ilegal seperti politik uang dan penyalahgunaan jabatan.
Serta, jika Pilkada digelar pada 2024 maka akan ada waktu panjang daerah tidak dipimpin pejabat definitif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Ada 272 yang dipimpin pejabat sementara dan sebagian merupakan episenturm Covid-19. Belum lagi tidak ada jaminan pandemi berakhir pada 2022 atau 2023.
“Ketiadaan kepala daerah definitif hasil pemilu membuat rentannya daerah karena penjabat kepala daerah tidak bisa membuat keputusan strategis. Banyak keputusan penting akan terhambat dan berujung pada upaya pencapaian program pemerintahan tidak dapat berjalan optimal,” papar Herzaky.
Herzaky mengingatkan, opsi apapun yang dipilih harus kesepakatan pemerintah dan partai politik di Senayan. Jangan sampai pihak yang memaksakan Pilkada serentak 2024 karena alasan pragmatis demi menjegal tokoh politik yang potensial sebagai Capres 2024.
“Jangan sampai pula, ada pihak-pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 hanya karena ada kepentingan pragmatis atau agenda terselubung yang tidak pro rakyat, bahkan merugikan rakyat. Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres,” ujar Herzaky.
Sementara itu Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat , pelaksanaan pilkada serentak 2020 lebih baik evaluasi. Namun belum ada urgensi perubahan undang-undang.
“Evaluasi Pilkada serentak penting, namun belum mengarah pada urgensi perubahan UU Pilkada,” kata Djarot dalam keterangannya, Rabu (27/1).
Djarot menilai, Pemerintah dan DPR tidak perlu membuang-buang energi melakukan perubahan undang-undang yang berpotensi menimbulkan ketegangan politik. Menurutnya lebih baik fokus menyelesaikan masalah pandemi Covid-19.
“Lebih baik fokus kita mengurus rakyat agar segera terbebas dari Covid-19. Pelaksanaan pilkada yang penting untuk dievaluasi, bukan perubahan UU-nya,” tegas Djarot.
Djarot menambahkan, aturan yang ada tidak perlu diubah karena pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan dan kesesuaian jadwal antara Pilpres, Pileg dan Pilkada 2024.
“Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam UU tersebut belum dijalankan, bagaimana perubahan akan dilakukan? Jadi dilaksanakan dulu tahun 2024, baru dievaluasi,” kata Djarot.