Mobil Listrik atau Hybrid, Mana yang Dapat Insentif Lebih Banyak?

Grafik perbandingan insentif pajak mobil listrik BEV dan hybrid HEV di Indonesia tahun 2025
Perbandingan Insentif Mobil Listrik dan Hybrid di Indonesia 2025
Advertisements

Trendingpublik.Com, Otomotif – Industri otomotif Indonesia tengah memasuki fase transformasi besar menuju era elektrifikasi. Berbagai produsen menghadirkan pilihan kendaraan ramah lingkungan seperti mobil listrik murni (BEV) dan kendaraan hybrid (HEV). Namun, muncul pertanyaan penting: mobil listrik atau hybrid, siapa sebenarnya yang mendapatkan insentif pajak lebih besar dari pemerintah?

Belakangan ini, publik menyoroti ketimpangan kebijakan insentif yang dinilai lebih menguntungkan mobil listrik murni dibandingkan hybrid. Padahal, produksi kendaraan hybrid dalam negeri meningkat dan melibatkan banyak komponen lokal yang menyerap tenaga kerja nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pabrikan otomotif telah memproduksi kendaraan hybrid di Indonesia. Di antaranya: Honda HR-V e:HEV, Suzuki New XL7 Hybrid, Suzuki All New Ertiga Hybrid, Toyota Veloz Hybrid (diperkenalkan di GJAW 2025), Wuling Almaz Hybrid produksi pabrik Cikarang, Jawa Barat

Kehadiran model-model tersebut menunjukkan bahwa produksi hybrid lokal sudah berjalan serius, didukung keterlibatan vendor komponen dalam negeri serta penyerapan tenaga kerja di sektor industri.

Namun, sayangnya insentif yang diterima kendaraan hybrid masih sangat terbatas. Perbandingan Insentif Pajak: BEV vs Hybrid. Insentif Kendaraan Hybrid (HEV), potongan PPnBM DTP hanya 3% Tetap dikenakan: PPN,PKB,BBNKB Opsen pajak kendaraan. Tidak mendapat fasilitas bebas pajak daerah

Akibatnya, mobil hybrid di pasar Indonesia masih memiliki harga jual yang relatif tinggi, sehingga tidak sekompetitif BEV.

Insentif Mobil Listrik Murni (BEV), diskon Bea Masuk hingga 50% untuk BEV impor dalam skema tes pasar, pajak masuk hanya 12% dari seharusnya 77%, bebas PKB dan BBNKB,BEV rakitan lokal ber-TKDN mendapatkan tarif pajak hanya 2%.

Dengan struktur kebijakan tersebut, insentif kendaraan listrik murni jauh lebih besar, terutama untuk model impor CBU. Hal ini justru membuat kendaraan hybrid merasa dianaktirikan, meskipun kontribusinya terhadap pengurangan emisi cukup signifikan.

Menurut Riyanto, Peneliti Senior LPEM FEB UI, kebijakan insentif saat ini belum memberikan perlakuan yang adil terhadap kendaraan hybrid.

“Insentif untuk HEV saat ini belum fair. Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair berbasis reduksi emisi dan TKDN,” jelasnya.

Riyanto menegaskan bahwa kendaraan hybrid juga berperan besar dalam transisi menuju green mobility, terutama sebagai jembatan menuju penerapan mobil listrik penuh.

Riyanto memperkirakan 2026 akan menjadi tahun penting bagi pasar hybrid Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh fakta bahwa insentif BEV CBU akan berakhir, sehingga penjualan BEV impor tidak lagi sesuperior tahun ini.

“Tahun depan HEV akan lebih baik dari tahun ini. Saya estimasi market share HEV bisa mencapai 5%,” ujarnya.

Ia menilai bahwa produsen otomotif yang selama ini hanya bermain di BEV akan mulai masuk ke hybrid dan merilis banyak model baru.

Pengamat otomotif Bebin Djuana menambahkan bahwa pertumbuhan penjualan hybrid sangat bergantung pada kebijakan pajak pemerintah dan kecepatan produsen menghadirkan pilihan produk baru.

“Besarnya peningkatan tergantung berapa besar potongan pajak dan kecepatan pabrik menyerahkan model-model terbaru karena konsumen kita selalu menginginkan model-model terbaru,” ujarnya.

Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa sektor otomotif memiliki multiplier effect besar pada ekonomi nasional, karena terkait langsung dengan banyak sektor lain dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan.

“Kami sedang menggodok kebijakan insentif dan stimulus untuk sektor otomotif yang akan diajukan untuk kebijakan fiskal 2026,” ungkapnya.

Jika skema insentif baru lebih adil dan berbasis TKDN, maka dominasi BEV impor akan berkurang dan kinerja industri otomotif nasional meningkat. (tp)